Sumber: Prosesnews.id
Jurnalikanews – Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) adalah gerakan pertentangan antara pemerintah RI dan daerah. Gerakan ini terjadi karena adanya ketidakpuasan didaerah terhadap kebijakan pemerintah pada saat itu. PRRI di prakarsai oleh beberapa tokoh yaitu Letnan Kolonel Ahmad Husein, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Assaat yang kemudian diproklamsikan oleh Ahmad Husein pada tanggal 15 Februari 1958.
Pembentukan PRRI pada mulanya dibentuk ketika adanya reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20 hingga 25 November 1958. Divisi Banteng adalah suatu komando militer yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan di Sumatra Tengah yang wilayah operasinya meliputi empat provinsi sekarang, yaitu Sumatra Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau.
Reuni tersebut memperoleh hasil bahwa perlu adanya otonomi daerah demi menggali potensi dan kekayaan daerah. Mereka merasa sangat prihatin kepada masyarakat yang hidupnya semakin susah, jauh dari rasa keadilan dan kemakmuran. Mereka juga merasa kecewa karena pemerintah pusat cenderung mengabaikan pembangunan di daerah dan dianggap telah melanggar undang-undang. Reuni ini sendiri dihadiri oleh perwira aktif maupun perwira pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Sumatra Tengah.
Pembentukan Dewan Banteng ini dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein selaku komandan resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Pembentukan ini terjadi pada tanggal 25 November 1956 yang dihadiri sekitar 612 orang perwira aktif dan pensiunan. Pembentukan Dewan Banteng ini juga diikuti dengan pembentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, dan Dewan Maguni di Sulawesi Utara.
Dewan Banteng menuntut pembentukan komando militer dengan tujuan agar adanya kesetaraan antara pembangunan pusat dan daerah. Selain itu, Dewan Banteng juga mengusulkan adanya dana alokasi untuk pembangunan daerah Sumatra Tengah. Namun, tuntutan tersebut dihiraukan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan seluruh penghasilan di Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat. Dana tersebut ditahan di daerah dan digunakan untuk pembangunan daerah. Masalah ini meningkatkan konflik dengan pemerintah pusat.
Konflik Dewan Banteng dengan pemerintah pusat makin meningkat setelah Dewan Banteng memutuskan untuk melakukan perdagangan dengan luar negri tanpa prosedur yang sah. Dana yang diperoleh dari hasil perdagangan tersebut digunakan untuk membeli alat-alat berat yang dapat digunakan untuk pembangunan jalan seperti traktor, aspal dan alat berat lainnya.
Pada akhir Maret 1957, sepuluh perwira staf Markas Besar Angkatan Darat (Mabes AD) memutuskan untuk mengambil inisiatif untuk mencari jalan keluar mengenai daerah itu. Mabes AD tersebut membicarakan maksud tersebut dengan Perdana Menteri Djuanda yang pada akhirya setuju dengan inisiatif tersebut. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah dengan mengadakan musyawarah nasional.
Dua hari sebelum musyawarah nasional dibuka terjadi sebuah pertemuan di Palembang yang dihadiri oleh Mohammad Natsir. Semuanya sepakat membentuk satu dewan saja yaitu Dewan Perjuangan dengan adanya pengaruh Natsir. Usulan yang diambil dari mereka yaitu pemulihan dwi Tunggal Soekarno-Hatta, penggantian pimpinan Angkatan Darat, pembentukan senat disamping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, dan melarang komunisme di Indonesia.
Pada musyawarah nasional yang terjadi pada tanggal 10-15 September 1957, seluruh usul yang ada diterima, namun Soekarno menolak adanya pembubaran PKI. Lalu, diadakanlah rapat raksasa di Padang oleh Letkol Ahmad Husein yang kemudian mengeluarkan ultimatum agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dalam waktu 5×24 jam dan Presiden diminta kembali ke kedudukan konstitusionalnya. Ultimatum tersebut pun ditolak oleh pemerintah pusat dan bahkan Ahmad Husein, dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat.
Pada 15 Februari 1958 dibentuklah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang. Pada pemerintahan tersebut, Syafruddin Prawiranegara dijadikan sebagai Perdana Menterinya. Namun, pertentangan ini dianggap pemberontakan oleh pemerintah pusat, dan kondisi inipun disikapi oleh Presiden Soekarno dengan mengerahkan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.
Berbagai operasi militer pun dikerahkan, termasuk pasukan yang dipimpin oleh Ahmad Yani dan Ibnu Sutowo untuk membasmi PRRI. Pada Bulan Mei 1961, gerakan yang disebut pemberontakan ini pun tumpas, karena pemimpinnya telah ditangkap atau menyerahkan diri. Presiden Soekarno tidak hanya menumpas PRRI, tetapi juga membubarkan Partai Masyumi yang diduga terlibat dengan PRRI.
Peristiwa ini juga menyebabkan banyaknya masyarakat Minangkabau yang eksodus besar besaran ke daerah lain. Selain itu juga menimbulkan dampak psikologis bagi sebagian besar masyarakat, yaitu melekatnya stigma pemberontak. Namun, para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang telah mereka lakukan. (FP)
Referensi: