Sumber gambar : IDN Times
Jurnalikanews- Indonesia kembali diguncangkan dengan aksi 22 Mei 2019 yang berlanjut pada kerusuhan sehingga mengakibatkan korban luka sebanyak 897 orang dengan delapan orang diantaranya meninggal dunia. Walaupun identik dengan aksi pada tahun 1998, namun pada kenyataannya kedua aksi ini memiliki perbedaan yang cukup besar. Berikut tiga perbedaan diantara aksi Mei 2019 dan aksi Mei 1998.
Latar Belakang
Pada aksi 1998 dilatarbelakangi oleh Krisis Finansial Asia yaitu krisis keuangan yang melanda hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand menjadi negara-negara yang terkena dampak terparah. Inflasi rupiah yang diperparah dengan banyaknya masyarakat yang menukarkan rupiah dengan dolar AS. Ditambah dengan kepanikan masyarakat terkait tingginya kenaikan harga bahan makanan. Menimbulkan aksi protes terhadap pemerintah orde baru. Kritikan dan aksi unjuk rasa pun mulai bermunculan dan semakin memanas.
Politik elektoral menjadi latar belakang dari aksi yang baru beberapa hari ini terjadi. Oleh karena itu, Indonesia seakan terpecah menjadi dua kubu yaitu kubu pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden 01 dan pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden 02. Selain itu, dugaan kecurangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rangkaian pemilu 2019 serta timbulnya korban petugas pelaksana pemilu sebanyak 527 petugas juga menjadi alasan diadakan unjuk rasa yang dilaksanakan pada 21-22 Mei 2019.
Sumber gambar : Alinea.ID
- Lembaga Pemerintah
Pada masa orde baru, Presiden Soeharto memegang seluruh kendali kekuasaan berpusat sehingga penyampaian aspirasi melalui jalur hukum sangat sulit. Pada masa itu tentu terdapat lembaga DPR, MPR, Mahkamah Agung dan ada pula Dewan Pertimbangan Agung, namun semua itu hanya sekedar nama. Maka dari itu aksi turun ke jalan menjadi satu-satunya pilihan untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Sementara dalam hal kasus politik elektoral ini, lembaga-lembaga negara terbuka untuk segala aspirasi rakyat seperti halnya Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan gugatan penolakan hasil pemilu. Mulai dari Bawaslu sampai dengan MK terbuka untuk menampung keluhan kecurangan. Prosesnya transparan dan dapat dipantau oleh rakyat, sehingga kalau lembaga-lembaga tersebut hanya sekedar mengikuti petunjuk Presiden, seperti pada masa orde baru, maka lembaga-lembaga tersebut sama halnya bunuh diri. Tentu tidak boleh mengukur integritas lembaga-lembaga tersebut dari diterima atau tidaknya aduan kita.
- Massa Aksi
Krisis finansial dan monopoli ekonomi yang terjadi pada Indonesia menyebabkan banyaknya masyarakat yang kecewa terhadap pemerintah. Maka ketika tersulutnya aksi pada Mei 1998 massa aksi sangatlah banyak, bahkan menjadi jumlah massa terbesar dalam peristiwa politik Indonesia menurut politikus Partai Demokrat, Andi Arief. Sementara, pada aksi 21-22 Mei 2019 ini walaupun banyak yang berapi-api, tetapi semua sama paham letak persoalan sesungguhnya ialah politik elektoral. Banyak terlihat di media sosial yang menentang aksi baru ini, sehingga yang ikut peran dalam aksi tersebut hanyalah segelintir orang saja. (IBH)