

Jurnalikanews – Pemerintah tengah bersiap menerapkan bahan bakar baru yang lebih
ramah lingkungan yakni Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan campuran etanol 10% (E10).
Langkah ini menjadi bagian dari upaya transisi energi bersih dan pengurangan emisi karbon.
Selain itu, etanol yang berasal dari sumber alami seperti tebu dan singkong diharapkan dapat
mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.
Namun, di balik semangat positif tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah semua kendaraan
di Indonesia siap menggunakan E10?
Masalah utamanya terletak pada sifat etanol yang mudah menyerap air (higroskopis).
Ketika air ikut masuk ke dalam system bahan bakar, hal ini bisa menyebabkan korosi pada tangki
dan komponen logam, terutama pada mobil keluaran lama. Etanol juga bisa merusak karet dan
plastik pada selang atau karburator yang tidak dirancang untuk bahan bakar berbasis bioetanol.
Mobil-mobil modern umumnya sudah dirancang agar kompatibel dengan E10, bahkan
hingga E20. Namun, kendaraan lama terutama yang masih menggunakan sistem karburator
perlu diwaspadai. Risiko seperti karat, kebocoran, hingga penurunan performa mesin dapat
terjadi jika bahan bakar disimpan lama atau tidak ada penyesuaian material.
Sebelum E10 diterapkan pemerintah perlu memastikan kesiapan infrastruktur distribusi,
ketersediaan bahan baku etanol, serta melakukan uji kelayakan teknis kendaraan, dan
mengedukasi masyarakat juga penting agar pengguna kendaraan lama memahami potensi risiko
dan langkah pencegahan yang perlu dilakukan.Inovasi energi memang penting, tapi keberhasilannya akan bergantung pada seberapa siap
kita beradaptasi baik dari sisi teknologi, kebijakan, maupun kesadaran masyarakat pengguna
kendaraan. (IR)
Sumber: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/maco.202414388