JURNALIKA

Jurnalistik Politeknik AKA Bogor

Dana Mahasiswa Lari Kemana?

Jurnalikanews – Periode setiap kepemimpinan pasti akan berganti seiring berjalannya waktu, begitu pula sebuah periode yang berlaku di setiap organisasi kemahasiswaan khususnya di Ikatan Mahasiswa Politeknik AKA Bogor (IMAKA). Setiap organisasi pasti membutuhkan sebuah sumber pendanaan yang digunakan untuk menghidupkan setiap kegiatan organisasi yang dilakukan, untuk organisasi yang berada dibawah IMAKA sendiri terdiri atas dua organisasi kemahasiswaan yang berupa lembaga dan lima organisasi kemahasiswaan yang berupa Unit Kegiatan Kampus (UKM). Pasokan dana yang diterima oleh tujuh kelengkapan organisasi tersebut beragam, sesuai dengan kebijakan dan sistem perbendaharaan masing-masing organisasi tersebut namun yang menjadi sumber pasokan dana dari ketujuh organisasi kemahasiswaan tersebut adalah berasal dari dana kemahasiswaan yang disebut dengan dana IMAKA dan dana yang berasal dari Kementerian Perindustrian berasal dari Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) atau disebut oleh mahasiswa dengan sebutan dana DIPA.

Dana IMAKA seperti yang telah disebutkan adalah dana yang berasal dari mahasiswa dan digunakan untuk kegiatan mahasiswa, dana ini sendiri didapat dari iuran wajib yang dibayarkan oleh setiap mahasiswa baru yang akan mendaftar masuk untuk berkuliah di Politeknik AKA. Hingga tahun 2014, besarnya nominal yang dibayarkan untuk dana IMAKA adalah sebesar Rp 100.000,- dan pada tahun 2015 nominal untuk dana IMAKA mengalami perubahan nominal menjadi Rp 150.000,- . Hal ini diketahui dari kuitansi para mahasiswa baru dengan sebelumnya melihat kepada daftar rencana perkuliahan Politeknik AKA Bogor pada semester pertama yang sekaligus pembayaran daftar ulang dan segala keperluan lainnya. Kuitansi dana IMAKA sendiri ditanda tangani oleh presiden mahasiswa yang menjabat saat itu. Secara aturan yang tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK RI) Nomor 190 Tahun 2012 tertulis bahwa orang yang menandatangani sebuah kwitansi atas nama suatu instansi adalah yang bertanggung jawab atas uang yang diterima, namun dalam hal ini presiden mahasiswa mengakui bahwa dia menandatangani kwitansi di awal sebelum mahasiswa baru masuk, dan jumlah antara yang ditanda tangani dengan jumlah mahasiswa yang diterima belum pasti.

Tercatat mahasiswa angkatan 2016 pada pendataan pemilih untuk pemilihan presiden mahasiswa oleh Badan Pekerja Pilpresma adalah sebanyak 333 orang, namun jumlah tersebut adalah jumlah setelah mahasiswa angkatan 2016 sendiri ada yang mengundurkan diri dari kampus Politeknik AKA Bogor. Apabila di kalkulasikan, maka dana IMAKA yang akan diterima dari 333 orang dengan jumlah pembayaran satu orangnya sebesar Rp 150.000,- adalah sebesar Rp 49.950.000. Namun realita yang terjadi adalah hanya sampai kepada DPM selaku yang berwenang melakukan fungsi budgeting di IMAKA melalui Komisi II hanya didapat Rp. 46.000.000,- . Lantas hal ini menjadi pertanyaan, kemanakah sisa dana IMAKA yang berjumlah Rp 3.950.00,- tersebut hilang yang merupakan selisih antara dana yang diterima dengan dana yang masuk.

Meski dana IMAKA ditanda tangani oleh presiden mahasiswa, namun uang tersebut tidak dipegang langsung oleh presiden mahasiswa maupun kementerian di bawahnya, melainkan dipegang oleh Pembantu Direktur III bidang non-akademik dan kemudian diberikan kepada Komisi II DPM untuk selanjutnya di salurkan kepada kelengkapan organisasi lain. Berbicara tentang hilangnya dana IMAKA sebesar tiga juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah tersebut, salah satu dari Pembantu Direktur Politeknik AKA Bogor pernah memberitahukan, bahwa ada pengalokasian dana kepada PSM Politeknik AKA yakni Suvarna Gita tanpa diketahui oleh presiden mahasiswa maupun DPM. Namun, hal ini menjadi tanda tanya kenapa tidak ada transparansi kepada presiden apabila terdapat pengalokasian untuk dana IMAKA kepada selain kelengkapan organisasi di IMAKA sendiri. Meski begitu, hal tersebut belum dapat dipastikan karena belum ada klarifikasi tersendiri dari pihak Suvarna Gita terkait ini.

Selain dana IMAKA, ada pula sumber pasokan dana berasal dari DIPA. Untuk DIPA tahun 2016 yang diterima oleh Politeknik AKA Bogor sendiri berdasar APBN Kementerian Perindustrian adalah sebesar Rp 40.921.549.000,- hal tersebut meliputi penggunaan untuk belanja pegawai sebesar Rp 7.294.344.000,- lalu untuk belanja barang operasional sebesar Rp 2.725.547.000,- dengan non-operasional sebesar Rp 12.091.026.000,- dan belanja modal non operasional sebesar Rp 18.810.632.000,- . Untuk dana DIPA yang diterima oleh kelengkapan organisasi sendiri adalah sebesar sekitar kurang lebih Rp 19.950.000,- .

Namun, dengan jumlah DIPA yang berjumlah 40 milyar tersebut adalah termasuk jumlah yang kecil yang dapat digunakan mahasiswa apabila hanya sekitar kurang dari 20 juta. Hal ini kerap membuat kelengkapan organisasi IMAKA sendiri bingung untuk menutupi kekurangan uang karena kadang tak jarang dituntut pula oleh pihak kampus untuk mengadakan kegiatan yang besar.

Pada Rapat Kerja Nasional (rakernas) FLMPI yang dilaksanakan tahun 2016 kemarin juga ada pengakuan dari salah satu anggota FLMPI bahwa anggota-anggota yang berangkat mengikuti rakernas tiap tahunnya harus melakukan patungan kembali untuk biaya ongkos dan lain-lain. Meski begitu setiap tahunnya dari pihak BEM maupun DPM terkadang meminta transparansi tentang keuangan untuk selanjutnya disampaikan kepada mahasiswa, namun selalu ditolak oleh pihak akademik dan pernah satu waktu diperlihatkan namun pengecekannya dibatasi dengan dalih bahwa mahasiswa tidak perlu tahu tentang semua keuangan kampus. Mungkin hal tersebut benar, bahwa kita tidak diperlukan untuk tahu semua urusan keuangan kampus, namun apakah kita tidak diperbolehkan juga untuk tahu seberapa banyak yang digunakan untuk memfasilitasi mahasiswa? Karena salah satu hal yang dari sebelum tahun 2014 sudah dijanjikan pihak kampus adalah sebuah sekretariat masing-masing, namun sudah molor hingga lebih dari 3 tahun hingga sekarang belum juga ada pembangunan untuk itu. Sementara kasus kehilangan yang dialami UKM yang menempati satu sekretariat berdua berdatangan, selain itu rasa nyaman akan privasi juga terganggu.

Untuk dana DIPA sendiri penggunaannya dilaporkan kepada Kementerian Perindustrian karena berasal dari sana, namun untuk dana IMAKA dilaporkan terlebih dahulu kepada DPM yang kemudian disampaikan pada Rapat Umum Anggota IMAKA, namun disayangkan yang disampaikan disini pada periode 2016/2017 hanya penggunaan dana IMAKA dari UKM saja sementara dari lembaga IMAKA tidak menyampaikan sama sekali, untuk penggunaan oleh pengurus BEM disampaikan pada saat pelaporan pertanggungjawaban presiden mahasiswa, namun untuk penggunaan dana IMAKA oleh DPM tidak disampaikan sama sekali padahal DPM-lah yang memegang kuasa penuh atas sistem keuangan di IMAKA. Untuk keseluruhan dari pelaporan penggunaan dana IMAKA sendiri, terdapat beberapa UKM yang terlihat ‘sengaja’ menyisakan dana untuk digunakan nanti, dan hal ini terlihat dari laporan penggunaan dana yang memang tidak habis dan tersisa ratusan ribu hingga mencapai dua jutaan, wajar apabila hal ini dilakukan mengingat dana IMAKA tidak diwajibkan habis seperti dana DIPA dan sisa dana IMAKA menjadi hak bagi UKM bersangkutan.

Namun pertanyaannya, dana yang tidak habis ini terjadi setiap tahun dan apakah ada sanksi setimpal yang  diberikan? Ternyata hal tersebut tidak berpengaruh besar terdapat perubahan anggaran yang diterima oleh masing-masing komponen, jadi dirasa tidak berpengaruh apakah dana IMAKA digunakan secara bijak ataupun ditumpuk untuk berikutnya.

Hasil yang didapat di lapangan hingga saat ini adalah, meski dana DIPA di anggarkan sebesar 40 milyar ke kampus namun mahasiswa sepertinya tidak diizinkan mengelola secara langsung dan hanya diberikan sebesar 19 juta untuk digunakan bersama dan dibagi tujuh kelengkapan organisasi IMAKA. Untuk kegiatan-kegiatan kampus lainnya diberikan dana namun harus meminta kepada pihak kampus seperti kegiatan kunjungan kerja (kuker), rakernas FLMPI, musyawarah nasional FLMPI, dll. Sementara dana IMAKA sendiri antara uang yang didapat dari mahasiswa baru dengan uang yang disalurkan kepada kelengkapan organisasi IMAKA masih memiliki perbedaan jumlah sebesar kurang lebih tiga juta sembilan ratus limapuluh ribu rupiah, dengan adanya pernyataan yang masih diragukan bahwa dana IMAKA juga digunakan oleh PSM Suvarna Gita. Selain itu terjadi perubahan sistem keuangan IMAKA dimana dana IMAKA awalnya turun menjadi dua kali karena di alokasikan untuk dua periode berbeda dan sekarang hanya untuk satu periode untuk satu sumber dana IMAKA dari tahun ajaran baru tetapi masih dibagi menjadi dua dan dengan waktu turun sebanyak dua kali, ditambah juga diberatkan penggunaannya karena pada bulan Agustus sudah diminta pertanggungjawaban penggunaan dana IMAKA yang terhitung pada bulan Juni hingga Agustus sebetulnya kegiatan perkuliahan sedang mengalami libur. Apakah lembaga IMAKA akan bergerak untuk membereskan permasalahan mengenai transparansi, waktu penggunaan, serta pelaporan yang dianggap tidak sesuai ini atau hanya mengikuti arus begitu saja dan demisioner tanpa memperbaiki masalah keuangan IMAKA ini? (Tim Investigasi)